Bahaya Laten Korupsi Peradilan

Mahfud MD, dalam ilustrasi.


infoharianonline.com - Pengantar Redaksi: Jagat penegak hukum di Indonesia gempar. Sebanyak 29 hakim telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dalam kurun waktu 13 tahun, sejak 2011 hingga 2024. Data tersebut merupakan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menemukan bahwa 29 hakim tersebut diduga menerima suap untuk mengatur hasil putusan.


Berdasarkan pemantauan ICW, sejak tahun 2011 hingga tahun 2024, terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Mereka diduga menerima suap untuk “mengatur” hasil putusan. Nilai suap mencapai Rp 107.999.281.345.


ICW menilai, perlu adanya pembenahan menyeluruh terhadap tata kelola internal di MA. Penetapan tersangka suap menunjukkan bahaya mafia peradilan. Praktik jual-beli vonis untuk merekayasa putusan berada pada kondisi kronis.


Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD menyorot maraknya kasus korupsi yang menyeret nama-nama hakim. Berikut petikan tanggapan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) dalam kabinet Presiden Joko Widodo (2019-2024) disampaikan dalam sejumlah forum, termasuk pada dialog publik yang mengangkat tema "Enam Bulan Pemerintahan Prabowo", digelar di Universitas Paramadina, Jakarta, pada Kamis (17 April 2025):


Korupsi di peradilan saat ini sedang tumbuh dan dipandangnya sebagai sesuatu yang sangat jorok. Sekarang juga yang tumbuh adalah korupsi peradilan itu jorok sekali ya. Karena sekarang kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan itu menjadi korupsi baru.


Fakta kita saksikan, empat hakim yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) agar divonis lepas. Jadi kasus ada korupsinya, tapi dibilang bukan korupsi 'ini kasus perdata, ini bukan korupsi', jadi dibebaskan itu tiga korporasi yang makan uang triliunan itu.


Kasus korupsi di pengadilan akan menjadi sangat berbahaya dan seakan menjadi jaringan. Gila, memang. Ini sangat berbahaya, ini sangat jorok sekarang.


Langkah Mahkamah Agung (MA) dalam melihat kasus korupsi yang melibatkan pengadilan, perlu kita cermati bersama secara kritis. Bahkan, MA seakan normatif saja dalam menanggapi kasus-kasus yang menyeret nama hakim. Selalu saja ini terjadi dan biasanya Mahkamah Agung itu normatif saja jawabannya.


Bahkan yang kasus Ronald Tanur di Surabaya itu, 'kan sejak awal dikatakan ini korupsi, ini ada penyuapan, tapi oleh Mahkamah Agung dibilang sudah ada prosedurnya, hakim-hakim itu paham nasionalis semua, hakim-hakim pahlawan.


Saat ini hampir semua lembaga negara di Indonesia terdapat kasus korupsi. Baik kasus korupsi di lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Sekarang semua lembaga itu ke kanan, ke atas, ke bawah, DPRD, bupati, kemudian hampir tidak ada lembaga sekarang ini yang tidak ada kasus korupsinya.


Hal ini berbeda dengan praktik korupsi yang terjadi di era pemerintahan Presiden Soeharto. Pada era itu, kata Mahfud, korupsi dilakukan oleh satu "tangan", yaitu korporatisme negara yang dikelola Soeharto dan kroninya. "(Kasus korupsi sekarang) Lebih parah, sudah triliunan. Dulu kita waktu awal reformasi itu dengar korupsi 10 miliar itu kaget 'kok gede banget' begitu. Sekarang sudah triliunan dan tiap hari kita dengar berita korupsi triliunan.


Korupsi peradilan Indonesia secara terang-terangan. Karena sekarang, kasus yang dibawa ke peradilan menjadi lahan korupsi baru bagi sejumlah pihak. Ya, seperti empat hakim yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) agar divonis lepas. Jadi kasus ada korupsinya, tapi dibilang bukan korupsi 'ini kasus perdata, ini bukan korupsi', jadi dibebaskan itu tiga korporasi yang makan uang triliunan itu.


Kasus korupsi di pengadilan akan menjadi sangat berbahaya dan seakan menjadi jaringan.


Rasa betapa lelahnya ketika menjabat sebagai Menkopolhukam. Hal yang paling menantang sebagai Menkopolhukam adalah berhadapan dengan mafia. Tapi bukan mafia biasa, melainkan mereka yang mendapat bekingan dari pejabat negara.


Ngurusin mafia-mafia ini 'kan tugas saya, terutama yang merampas kekayaan alam dan tambang yang kerap kali dilakukan secara ilegal. Mereka dapat perlindungan dari pereman bahkan pejabat. Fakta ini adalah hal yang sangat rumit untuk dibereskan. Karena terkadang, pejabat yang dimaksud memiliki hubungan dengan kami. Tentu kita merasa tidak enak dengan pejabat yang bersangkutan. Saat berurusan dengan beking-bekingan ini, kita tidak takut melainkan tidak enak dan ini jadi rumit.


Maka dari itu, saya lebih memilih menyuarakannya di hadapan media. Karena hal inilah saya lebih memilih berbicara terbuka ketimbang bisik-bisik.


Ambil contoh soal transaksi mencurigakan di lingkungan Kemenkeu, saya bersuara keras saat itu. Bahkan pernyataan menohok viral dan buat heboh masyarakat.


Sampai-sampai saya rapat dengan Komisi III DPR RI membahas persoalan transaksi mencurigakan itu. Pada akhirnya, Menkopolhukam menggodok buat Satgas TPPU hingga meng-gol-kal UU Perampasan Aset.


Selain kasus transaksi mencurigakan itu, ada juga kasus yang menjerat mantan pejabat pajak yaitu Rafael AT. Mengingatkan, nama Rafael AT viral setelah sang anak yaitu Mario Dandy berkasus. Mario Dandy diketahui terseret kasus penganiayaan kepada anak di bahwa umur.


Selain perbuatan kejinya, kehidupan bak sosialita yang dia pamerkan juga menjadi momok di tengah masyarakat. Sejak saat itu, frasa pejabat pamer harta semakin sering didiskusikan di berbagai forum. Karena fenomena itu, kami meminta jajaran di Kemenkopolhukam memeriksa harta kekayaan Rafael AT. Lihat laporan kekayaannya, terus saya dapat informasi ini dari PPATK bahwa Rafael AT sudah bermasalah sejak tahun 2012. Bahwa harta kekayaannya tidak wajar. Pasalnya, Rafael AT sudah bermasalah sejak tahun 2011 tapi dilakukan pembiaran.


Saya bicara ke hadapan pers, bahwa Rafael AT sudah dilaporkan melakukan pencucian uang sejak tahun 2011. Setelah diselidiki, hartanya mencapai Rp 500 miliar. Tindak pencucian uang Rafael AT pun dikonfirmasi oleh KPK dan dijelaskan lebih gamblang.


Pada tahun 2011, Rafael AT diangkat menjadi Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur I. Dan menurut data, ia sudah meraup sekitar 90 ribu US Dolar atau Rp 1,3 miliar selama terima gratifikasi itu.


Mahfud MD. 


Salah satu akun TikTok, Felicia Putri Tjiasaka membeberkan modus gratifikasi Rafael AT ini. Gratifikasi ini diduga melalui perusahaan konsultan pajak miliknya, PT Artha Mega Ekadhana (AME).


"KPK mengungkap RAT menerima gratifikasi 1,3 miliar melalui perusahaan konsultan pajak miliknya PT Artha Mega Ekadhana (AME)”, ungkap akun TikTok itu, 14 April 2023.


Lebih jelas, klien PT AME ini adalah perusahaan-perusahaan besar yang pajaknya mencapai ratusan miliar.


“Kita ilustrasikan, perusahaan ini harusnya bayar pajak 100 miliar, tapi mereka tidak bayar sebesarnya itu. PT AME ini yang membantu perusahaan itu agar tidak bayar pajak dengan besaran yang seharusnya. PT AME membantu meminimalkan pajak, tentu dengan cara ilegal alias tax evasion. Bahkan Rafael AT memang merekomendasikan PT AME ini kepada para wajib pajak tersebut. Jika digambarkan, perusahaan bisa bayar pajak hanya 10 M padahal seharusnya 100 M."

Posting Komentar

infoharianonline@gmail.com

Lebih baru Lebih lama