Menahan Ijazah Menahan Masa Depan

Ijazah ditahan pihak perusahaan


infoharianonline.com - Kasus penahanan ijazah karyawan, terjadi di Surabaya. Fenomena ini agaknya terjadi di tempat lain. Kasus ini, terungkap setelah seorang di antara pekerja yang ijazahnya ditahan pemilik UD Sentoso Seal, Jan Hwa Diana, dilaporkan kepada Wakil Walikota Surabaya, Armuji. Usut punya usut, terjadi ketegangan antara Cak Ji, panggilan akrab wakil walikota itu, dengan sang juragan pengusaha itu. Bahkan, terjadi saling lapor ke pihak Kepolisian.


Akhirnya, Komisi D DPRD Surabaya menggelar rapat dengar pendapat terkait kasus penahanan ijazah karyawan oleh UD Sentoso Seal. Dalam rapat tersebut diungkapkan ada 31 karyawan yang ijazahnya ditahan, tapi tidak diakui pemilik usaha.


Rapat hearing itu dihadiri sejumlah pihak termasuk pemilik UD Sentoso Seal, Jan Hwa Diana, sejumlah mantan karyawan yang ijazahnya ditahan, Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Surabaya, serta Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jatim.


Ketua Komisi D DPRD Surabaya dr Akmarawita Kadir mengatakan Diana masih saja menyangkal telah menahan ijazah karyawan, meski mantan karyawan perusahaan yang dia pimpin sudah menunjukkan sejumlah bukti penahanan ijazah.


"Katanya 31 orang itu yang ijazahnya tertahan, ini harusnya dicari," kata Akma usai hearing, Rabu (16 April 2025).


Merespon hal itu, berikut Muhammad Syamsudin menyampaikan pandangannya, bertajuk Menahan Ijazah, Menahan Masa Depan. Berikut catatan Ust Muhammad Syamsuddin, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Jufri Bawean (Redaksi):


Di tengah geliat industrialisasi dan semangat digitalisasi kerja, Indonesia justru dihadapkan pada praktik yang lebih menyerupai sistem perbudakan administratif ketimbang hubungan kerja profesional: penahanan ijazah oleh perusahaan. Ironisnya, ini terjadi bukan di ladang-ladang kolonial, melainkan di ruang-ruang ber-AC tempat briefing disampaikan dengan pointer dan slide PowerPoint bertema “Human Capital Development”.


Dengan alasan klasik yang berkisar antara "jaminan loyalitas", "pengganti kontrak moral", hingga "balasan atas investasi pelatihan", sejumlah perusahaan menahan dokumen milik pribadi yang menjadi simbol perjuangan akademik seseorang. Bukti legal pendidikan yang seharusnya menjadi hak absolut individu, malah dialihfungsikan menjadi jaminan kerja mirip surat gadai.


Sungguh brilian. Inilah inovasi dalam dunia ketenagakerjaan: peralihan fungsi ijazah dari alat afirmasi intelektual menjadi alat tawar-menawar industrial. Jika pada zaman feodal, para petani menyerahkan hasil panen kepada tuannya sebagai bentuk ketaatan, kini para pekerja menyerahkan ijazahnya kepada HRD — mungkin agar dipajang bersama piagam "ISO 9001".


Dalam perspektif hukum, praktik ini bertentangan dengan prinsip hak milik sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G UUD 1945 dan juga semangat UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang menekankan kesetaraan dan kebebasan hubungan kerja. Namun tentu saja, di negeri yang birokrasi hukumnya kadang lebih lambat dari keluhan netizen di Twitter, praktik ini tetap eksis — bahkan nyaris menjadi norma tak tertulis di sektor informal dan outsourcing.


Masalah utamanya bukan hanya pelanggaran hak, tetapi legitimasi budaya kerja yang permisif terhadap dominasi. Ijazah ditahan, pekerja diam. Pemerintah tahu, publik tahu, tapi semua menganggap ini sebagai “risiko dunia kerja.” Di sinilah absurditas itu bekerja: ketidakadilan yang dibiarkan lama-lama dianggap lumrah.


Penahanan ijazah bukan sekadar persoalan administratif, melainkan gejala kronis relasi kekuasaan dalam struktur kerja. Dalam bahasa Pierre Bourdieu, ini adalah bentuk violence symbolique — kekerasan simbolik — di mana dominasi dilakukan dengan cara halus tapi mematikan, hingga yang tertindas tak merasa ditindas.


Maka ketika DPRD Jawa Timur mulai bersuara, ini patut diapresiasi. Namun jangan berhenti di frasa pernyataan keprihatinan. Diperlukan intervensi regulatif yang jelas: larangan tertulis, sanksi tegas, serta saluran pengaduan yang efektif. Sebab kalau tidak, perusahaan akan terus menahan ijazah, dan para pekerja — generasi sarjana dan diploma masa depan — hanya akan menjadi “karyawan kontrak dengan gelar yang disandera.”


Bukankah ini saatnya kita bertanya: siapa yang sebenarnya belum lulus? Para pekerja yang ijazahnya ditahan, atau sistem kerja yang nggak mahu belajar? 

Posting Komentar

infoharianonline@gmail.com

Lebih baru Lebih lama